Senin, 16 Desember 2013

Kota Bengkulu


   Kota Bengkulu adalah salah satu kota, sekaligus ibu kota provinsi BengkuluIndonesia. Sebelumnya kawasan ini berada dalam pengaruh kerajaan Inderapura dan kesultanan Banten. Kemudian dikuasai Inggris sebelum diserahkan kepada Belanda. Kota ini juga menjadi tempat pengasingan Bung Karno dalam kurun tahun 1939 - 1942 pada masa pemerintahan Hindia-Belanda.

   

Daftar isi

  [sembunyikan

Daftar Walikota.

Kota Bengkulu sekarang telah dipimpin oleh H. Helmi Hasan, SE dan Ir. Patriana Sosia Linda sebagai Wali Kota dan wakilWalikota Bengkulu periode 2013-2018[4], Berikut adalah daftar-daftar Kepala Daerah yang pernah memimpin Kota Bengkulu[5]
  1. Hamzah Sa’ari (Ketua Dewan Pemerintahan Kotapraja Bengkulu, 1945 – 1950)
  2. K.Z. Abidin (Walikota KDH Kotapraja Bengkulu, 1950 – 1960)
  3. H. Hasan Basri (Walikota KDH Kotapraja Bengkulu, 1960 – 1965)
  4. M. Salim Karim (Walikota KDH Kotapraja Bengkulu, 1965 – 1970)
  5. M. Zen Rani (Walikota KDH Kotapraja Bengkulu, 1970 – 1975)
  6. Z. Thabri Hamzah, S.H. (Walikotamadya KDH Tk. II Bengkulu, 1975 – 1980)
  7. Drs. Syafiudin A.R. (Walikotamadya KDH Tk. II Bengkulu, 1980 – 1985)
  8. Drs. Sulaiman Effendi (Walikotamadya KDH Tk. II Bengkulu, 1985 – 1990)
  9. Drs. Sulaiman Effendi (Walikotamadya KDH Tk. II Bengkulu, 1990 – 1995)
  10. Achmad Rusli, S.H. (Walikotamadya KDH Tk. II Bengkulu, 1990 – Maret 1992)
  11. Drs. H.A. Razie Jachya (Walikotamadya KDH Tk. II Bengkulu, Maret – Oktober 1992)
  12. Drs. Chairul Amri Z. (Walikotamadya KDH Tk. II Bengkulu, 1992 – 1997)
  13. Drs. Chairul Amri Z. (Walikotamadya KDH Tk. II Bengkulu, 1997 – 2002)
  14. H.A. Chalik Effendie (Walikota Bengkulu, 2002 – 2007)
  15. H. Ahmad Kanedi, S.H., M.H. (Walikota Bengkulu, 2007 – 2012)
  16. Drs. H. Sumardi, M.M. (Penjabat Walikota Bengkulu, 17 November 2012 – 21 Januari 2013)
  17. H. Helmi Hasan, S.E. ( Walikota Bengkulu, 2013 – Sekarang )[6]

MENGENAL ASAL MULA DAN SEJARAH KOTA BEGKULU


  Mengenal Asal Mula dan Sejarah Kota Begkulu ---kota Bengkulu, tempat kelahiranku ini sangat istimewa,dimasa sebelum tahun 1685, di wilayah Bengkulu sekarang terdapat beberapa kerajaan kecil, yaitu disamping Kerajaan Empat Petulai, yang juga terkenal dengan Kerajaan Depati Tiang Empat dengan Rajo Depatinya di Pegunungan Bukit Barisan di daerah Rejang Lebong serkarang, ada di bagian pesisir Bengkulu Kerajaan Sungai Serut di Bengkulu, Kerajaan Selebar di daerah Lembak Bengkulu Utara,Kerajan Sungai Lemau di daerah Pondok Kelapa Bengkulu Utara, dan Kerajaan anak Sungai di daerah Muko-Muko.


   -- Kerajaan-kerajaan kecil tersebut, tidak terbentuk suatu Negara dengan kekuasaan mutlak. Kerajaan itu terdiri dari dusun-dusun yang dipimpin oleh seorang kepala yang dipilih oleh para penduduknya dan para kepala dusun secara sukarela menggabungkan diri pada kerajaan dan Raja adalah lambang kesatuan.

Menurut sejarah, Kota Bengkulu didirikan pada tahun 1719 Masehi. Gubernur Inggris diperkenankan oleh Raja-raja Bengkulu untuk kembali ke Ujung Karang, pada waktu itu Pemerintah Inggris dipaksa untuk mendirikan pusat perdagangan yang diberi nama Pasar Marlborough, yang oleh orang Bengkulu lazim disebut Pasar Malabero yang merupakan cikal bakal Kota Bengkulu.

Sebelum Inggris datang ke Bengkulu, di Bengkulu sudah ada Kerajaan-kerajaan yaitu Kerajaan Sungai Serut dan Kerajaan Sungai Lemau. Kerajaan Sungai Serut didirikan oleh Bintang Roano yang terkenal dengan gelar Ratu Agung yang berasal dari Kerajaan Majapahit, sedangkan Kerajaan Sungai Lemau dengan Rajanya Datuk Bagindo Maharaja Sakti yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung Sumatera Barat.

Salah seorang dari Ratu Agung yang bernama Putri Gading Cempaka memiliki wajah yang sangat cantik dan menawan hati bagi setiap orang yang memandangnya, sehingga rona kecantikannya ini tersiar sampai ke Negeri Aceh. Oleh karena kecantikannya ini pulala seorang putra raja Aceh datang untuk meminang Putri Gading Cempaka.

Setelah lamaran (pinangan) putra Raja Aceh tersebut diterima oleh Ratu Agung, Putra Raja Aceh Kembali ke Negerinya, akan tetapi malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, ketika Putra Raja Aceh dating lagi ke Kerajaan Sungai Serut untuk melaksanakan pernikahan dengan Putri Gading Cempaka, Ayahanda dari Putri gading Cempaka yaitu Ratu Agung baru saja meninggal dunia.

Karena Karajaan Sungai Serut masih dalam suasana berkabung, rencana pernikahan terpaksa ditolak oleh kakak Putri Gading Cempaka yang bernama Raja Anak Dalam Muaro Bangkahulu yang menggantikan Ayahandanya sebagai Raja Sungai Serut.

Mendapat penolakan itu, Raja Aceh sangat tersinggung dan terjadilah perang antara Kerajaan Sungai Serut dengan pasukan Raja Aceh. Dalam perang yang tidak seimbang, karena laskar Raja Aceh lebih banyak dan lebih siap, maka kerajaan Sungai Serut hanya mampu bertahan dengan membuat empang (blokade) ke hulu.

Dengan taktik blokade atau empang ke hulu Sungai Serut, tentara Aceh dapat dikalahkan dan akhirnya kembali ke Aceh. Keberhasilan membuat empang ke hulu inilah yang akhirnya diabadikan menjadi Bangkahulu yang lazimnya disebut masyarakat setempat menjadi Bengkulu. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1615 masehi.

Seusai perang, Kerajaan Sungai Serut meninggalkan Kerajaan yang sudah hancur dan pindah ke dusun Rindu Hati dan Gunung Bungkuk. Beberapa tahun kemudian keluarga kerajaan ini turun gunung dan membuat daerah pemukiman baru di Muara Sungai Serut. Putri Gading Cempaka akhirnya menikah dengan Datuk Bagindo Maharajo Sakti dari Kerajaan Pagaruyung Sumatera Barat. Bandar muara sungai serut berganti nama menjadi Bandar Muara Bangkahulu yang pada akhirnya perkembangannya berubah menjadi pasar Bengkulu. Inggris menginjakkan kaki di Bengkulu pada tahun 1685 yang dipimpin oleh Kapten J. Andrew dengan menggunakan 3 buah kapal yang bernama The Caesar, The Resolution dan The Defance.

Pada tahun 1714 sampai dengan tahun 1719, Inggris mendirikan Benteng Fort Marlborough di bawah pimpinan wakil Gubernur England Indishe Company (EIC) yaitu Joseph collet. Namun kerena kesombongan dan keangkuhan Joseph Collet, begitu Benteng Fort Marlborough selesai dibangun pada tahun 1719, rakyat Bengkulu dibawah pimpinan Pangeran Jenggalu menyerang orang Inggris di Ujung Karang dan Benteng Fort Marlborough dapat dikuasai Rakyat Bengkulu. Dalam pertempuran tersebut Gubernur Inggris Thomas Parr mati terbunuh oleh Pangeran Jenggalu. Orang Inggris dapat diusir dari Bengkulu dan mereka lari ke Madras (India).

Karena takut dan khawatir terhadap Belanda dan VOC nya akan memperluas kekuasaannya di Bengkulu dan Belanda bermarkas di Desa Kandang, maka pada tahun 1720 Raja Sungai Lemau memberikan izin kepada Inggris untuk kembali ke Bengkulu dengan syarat hanya boleh mendirikan pusat perdagangan (pasar) di dekat Benteng Fort Marlborough yang dengan lidah orang Bengkulu lazim disebut Pasar Malabero, sejak itu Bengkulu lama-kelamaan bersatu dengan pasar malabero dan akhirnya menjadi Kota kecil yang disebut Bengkulu.

Pada zaman Belanda, Kota kecil Bengkulu dijadikan sebagai pusat pemerintahan “GEWES BENCOOLEN” sampai akhirnya pemerintahan Belanda pada tahun 1942. Pada tahun 1942 pada masa pemerintahan Jepang dan revolusi fisik Kota Bengkulu ini menjadi ajang pertempuran untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, karenanya tidak sedikit putra Bengkulu yang gugur sebagai kusuma Bangsa.

Pada masa revolusi fisik Kota Bengkulu menjadi tempat kedudukan Gubernur militer Sumatera Selatan yang kala itu Gubernurnya adalah DR. AK. GANI sejak awal kemerdekaan Kota Bengkulu menjadi ibukota Keresidenan Bengkulu dari Provinsi Sumatera Selatan dan sekaligus menjadi ibukota Kabupaten Bengkulu Utara.

Setelah Bengkulu menjadi Provinsi pada tanggal 18 November 1968, Kota Bengkulu resmi menjadi ibukota provinsi Bengkulu. Berkenaan dengan sejarah berdirinya Kota Bengkulu, maka Pemerintah daerah telah menetapkan dalam Peraturan Daerah Kotamadya Bengkulu Nomor 01 tahun 1991, bahwa setiap tanggal 17 Maret ditetapkan secara resmi sebagai hari jadi Kota Bengkulu dengan motto“SEIYO SEKATO KITO BANGUN BUMI PUTRI GADING CEMPAKA MENUJU KOTA SEMARAK (SEJUK, MERIAH, AMAN, RAPI DAN KENANGAN)”.

Demikian beberapa informasi  dari Fakta Isi Dunia pada kesempatan kali in tentang Mengenal Asal Mula dan Sejarah Kota Begkulu, semoga bisa bermanfaat buat semua...

Sabtu, 14 Desember 2013

Menapak Jejak Sejarah Suku Rejang.
    

   
       Perjalan untuk mendokumentasikan
 huruf-hurus kuno rejang (huruf ka ga nga)
 sebenarnya   sudah lama saya lakukan yaitu    pada bulan    Januari-Febuari 2008.
 Bersama dengan teman-teman Gekko Studio    kami berangkat ke Bengkulu.
 Dengan  menggunakan mobil hiline long sasis  yang kami  beli di Bali pada bulan
 desember tahun lalu  kami berangkat
 menuju Bengkulu, Tepatnya  Bengkulu Utara  kampung halamanku.


 Kami sengaja membeli mobil sendiri biar puas untuk muter-muter Bengkulu dan kedepannya jikalau ada perjalanan yang areanya masih sekitar jawa dan sumatera kami bisa menggunakan kendaraan sendiri biar lebih hemat. Hemat, belajar dari pengalaman disaat kita membuat sebuah film dokumenter tentang impact perkebunan sawit terhadap anak suku dalam di Jambi. Kami harus merental mobil hiline ini dengan harga 400 ribu perhari. Lumayankan kalo kita sewa selama 10 hari lebih plus BBM-nya.
Di Bengkulu selain membuat film dokumenter tentang keterancaman gajah sumatera yang ada di Bengkulu kami juga menyempatkan diri untuk berangkat ke Kabupaten Lebong dan Curup untuk survey mengenai keberadaan tulisan rejang (huruf ka ga nga) dan sejarahnya. Perjalanan ini juga merupakan perjalanan ritualku karena akan menelusuri sejarah persebarang suku rejang yaitu suku saya sendiri. Selama ini saya yang terlahirkan dari keturuanan asli rejang saya tidak pernah tahu sejarah persebarannya. Norak ngga ya :)
Tulisan ini adalah saya kembangkan dari hasil wawancara dengan Pak Salim, salah satu tokoh adat yang ada di Desa Topos, Kabupaten Lebong. Salah satu kampung tertua yang ada di Lebong yang terletak di hulu sungai ketahun. Karena saya terlebih dahulu harus mencatat hasil-hasil wawancaranya disela-sela rutinitas yang ada dan sekaligus mencoba untuk mentransletnya (berhubung wawancaranya menggunakan bahasa rejang), jadi yah beginilah jadi lama saya menulisnya ke blog ini. Hasil-hasil wawancara ini saya coba rangkai dan kembangkan agar enak dibaca. Mohon maaf jikalau nanti bahasanya masih ada yang kaku dan lompat-lompat serta ada beberapa bahasa yang tidak mampu saya terjemahkan.

      Sejarah Rejang
Asal mula masyarakat rejang yang ada di Bengkulu menurut cerita nenek mamak atau orang-orang tua (Pak Salim dan Masyarakat Topos) adalah pertamanya ditemukan di Desa Siang, muara sungai ketahun. Pada masa itu pemimpin masyarakat rejang adalah Haji Siang. Dimana sebelum Haji Siang, lima tahap diatas Haji Siang orang rejang sudah ada. Pada masa haji ini ada emapat orang haji yaitu Haji Siang, Haji Bintang, haji Begalan Mato dan Haji Malang. Karena  mereka berempat tidak bisa memimpin dalam satu daerah, akhirnya mereka membagi wilayah kepemimpinan. Haji Siang tinggal di Kerajaan Anak Mecer, Kepala Sungai Ketahun, Serdang Kuning. Haji Bintang ada di Banggo Permani, manai menurut istilah rejangnya yang sekarang terletak di Kecamatan Danau Tes. Haji Begalan Mato tinggal di Rendah Seklawi atau Seklawi Tanah Rendah. Kerajaan Haji Malang bertempat tinggal diatas tebing, sekarang namanya sudah menjadi Kecamatan Taba' Atas.
Dalam keempat kepemimpinan ini mereka ada sebuah falsafah hidup yang diterapkan yang itu pegong pakeui, adat cao beak nioa pinangyang berartikan adat yang berpusat ibarat beneu. Bertuntun ibarat jalai (jala ikan), menyebar ibarat jala, tuntunannya satu. Jika sudah berkembang biak asalnya rejang tetap satu. Kenapa ibarat beneubeneu ini satu pohon, tapi didahan daunnya kait-mengait walaupun ada yang menyebar atau menjalar jauh. Walaupun pergi ketempat yang jauh tapi tahu akan jalinan/hubungan kekeluargaannya. Bisa kembali lagi darimana asal mereka berada.
Pegong pakeui juga mengajarkan bahwa kita sebagai manusia mempunyai hak yang sama. Jika kita sama-sama memiliki, maka kita membaginya sama rata. Jika kita menakar (membagi), misalnya membagi beras, kita menakarnya sama rata atau sama banyaknya. Jika kita melakukan timbangan, beratnya harus sama berat. Itulah pegong pakeui orang rejang. Amen bagiea' samo kedaou, ameun betimbang samo beneug, amen betakea samo rato. Artinya jika membagi sama banyak, jika menimbang sama berat, jika menakar sama rata). Itulah cara adat rejang.
Dengan persebaran dan berkembang biaknya dari empat kerjaan ini mereka mencari tempat-tempat di kepala air (hulu sungai) untuk dijadikan tempat tinggal. Seperti yang ada sekarang ini yaitu Rejang Aweus, Rejang Lubuk Kumbung yang ada didaerah Muaro Upit, Rejang Lembak (Lembok Likitieun, Lembok Pasinan) dan termasuk juga Rejang Kepala Curup. Dasar persebaran ini adalah dari Rio (belum jelas Rio ini siapa dan keturunan darimana). Dipercaya Rio berasal dari Desa Topos yang pecahan kebawahnya adalah Tuanku Rio Setagai Panjang. Rio Setagai Panjang ini memiliki tujuh orang bersaudara dan berpencar untuk mencari tempat tinggal.  Diantara dari tujuh Rio tersebut  dan persebarannya di Bengkulu adalah sebagai berikut:
1. Rio Tebuen ada di Desa Lubuk Puding, Pasema Air Keruh
2. Rio Penitis ada di Curup. daerah Selumpu Sape
3. Rio Mango' keturunannya sekarang mulai dari Pagar Jati sampai ke hulu nya yaitu Desa Gading, Padang Benar dan Taba Padang
4. Rio Mapai sekarang keturuanannya ada di Kecamatan Lais, itulah asal orang rejang yang terletak di bagian utara
Suku Rejang memiliki lima marga, yaitu Jekalang, Manai, Suku Delapan, Suku Sembilan dan Selumpu. Lima marga inilah sekarang yang ada di tanah rejang yang ada di Bengkulu. Jika ada yang pindah ketempat lain mereka akan tetap berdasarkan lima marga tersebut. Walaupun mungkin banyak orang-orang rejang yang ada di Bengkulu sudah tidak tahu lagi mereka masuk kedalam marga apa. Dikatakan oleh orang tua dahulu pecua' bia piting kundei tanea' ubeuat, pecua bia' piting kundei tanea' guao', istilah rejangnya mbon stokot, 'mbar-mbar ujung aseup, royot kundeui ujung stilai. Artinya masih ada asal usul yang menyangkut tanah lebong, walau dia berpencar kemanapun. Dari kepercayaan yang ada, mereka percaya asal mula rejang itu satu. Tidak ada bibitnya (asal usulnya) dari orang lain. Semuanya berasal dari Ruang Lebong atau Daerah Lebong yaitu dari Ruang Sembilan Sematang. Walaupun sekarang orang rejang atau suku-suku rejang sudah menyebar dipelosok nusantara ini ataupun diluar negeri sekalipun.

Cara Adat Rejang yang sudah menghilang

Seperti halnya dengan suku-suku lain yang ada di nusantara ini, suku rejang juga memiliki adat dan budaya dalam melakukan beberapa kegiatan ataupun upacara adat. Salah satunya adalah cara untuk menikahkan anak dan adat untuk membayar nazar jikalau kita ingin membayar nazar atau hutang. Cara yang dilakukan adalah memakai sesajen untuk berkomunikasi dengan pada arwah-arwah atau penghulu-penghulu kita yang sudah pergi. Kita memberi tahu jika kita ingin membayar nazar aatu ingin mengadakan pernikahan anak kita. Sesajen ini biasanya dengan menyertakan ayam yang dalam bahasa rejangnya disebut mono' biing.
Pada zaman dahulu, sebelum memakai benih untuk menanam harus mengundang benih terlebih dahulu, yang disebut bekejai binia'. Benih ini ditaroh didalam tadeu (sejenis keranjang yang terbuat dari rotan atau bambu). Ngekejai (belum jelas apa/siapa ngekejai) memanggil malaikat jibril, israfil, mikail dan juga para dewa. Jika jumlah benih yang ada didalem tadeu semakin banyak jumlahnya berarti ada harapan hasil panen akan banyak dan ada rezeki nantinya. Namun jika benihnya tidak bertambah banyak jumlahnya mungkin pertanda hasil ladang kita tidak akan maksimal hasilnya. Jika ingin memotong bambu itu bagi orang rejang ada pantangannya, begitu juga jika ingin membuka hutan. Jika kita ingin membuka hutan kita harus menabeues, menyatakan maksud kita kepada yang menjaganya. tanea' talai istilahnya, tukang ngembalo tanea' dunionyo (penjaga tanah di dunia ini). Tuhan tidak hanya menurunkan sesuatu ke bumi ini tanpa ada yang menjaganya. Jika kita ingin membuka lahan disuatu area tersebut kita tancapkan sebuah pancang. Jika diarea yang kita beri tanda tidak menyahut atau ada pertanda yaitu misalnya berupa binatang mati atau berupa darah, berarti kita harus membatalkan niat kita untuk membuka lahan disana dan pertanda bukan rezeki kita disana, melainkan tanda bala' yang memanggil kita.
Dalam menanam padi, jika terdapat hama dalam tanaman tersebut seperti hama pianggang, senangeuw, luyo atau luyang dalam bahasa rejannya, mereka membasmi dengan memakai daun sirih dengan cara menyemburkan air daun sirih tersebut sewaktu sore hari menjelang maqrib. Dalam tiga kali semburan dalam waktu senja hama itu bisa pergi. Dengan kekuasaan Tuhan mahkluk ini bisa pergi. Pada zaman itu tidak mengenal pestisida ataupun racun. Karena mereka percaya, jika niat kita jelek untuk membasmi mahkluk Tuhan, maka timbal baliknya adalah bencana. "Sebab niat kita mau membasmi mahkluk Tuhan, sedangkan cara adat itu di jampi, nidau kalo dalam bahasa rejang, disusur darimana asalnya, baliklah ke tempat asalnya" terang pak salim kepadaku karena sekarang sudah banyak yang menggunakan racun pestisida dalam membasmi hama.
Jika orang rejang ingin membuat rumah untuk tempat tinggal, terlebih dahulu mereka memilih jenis kayunya. Misalnya kayu meranti, kayu semalo, kayu medang. Cara untuk mengambil kayu tersebut pun ada aturan adatnya, yaitu jika tumbangnya mengarah ke kepala air atau mengarah mata air, atau menusuk ke leko' itu tidak boleh diambil. Itu tandanya celaka dalam arti kita sebagai orang rejang. Rumah yang sudah kita bangun dan setelah kita huni kita akan jatuh sakit ataupun meninggal dunia. Meninggal dalam artian bukan karena rumah tersebut, tapi karena celaka atau musibah, banyak masalah yang datang. Kemungkinan hidup kita akan susah setelah itu karena kayu yadi membawa bencana. Bagusnya dalam membangun rumah adalah jika kayu yang kita ambil tumbangnya mengarah ke desa atau kampung. "Inilah 100% sebagai tanda-tanda yang bagus untuk kita membangun rumah" ungkap pak salim.
Sebelum adanya masa orde baru atau Rezim Suharto, ditanah rejang masih dikenal dengan sistem kepemimpinan yang dipimpin oleh Kepalo Banggo (Kepala Marga) atau raja bagi masyarakat rejang. Kepala Marga memegang dua pernanan, yaitu menjalankan roda pemerintahan dan juga menjalankan sistem-sistem adat yang ada karena dialah raja dari adat. Antara tahun 1977-1978 kepala marga ditanah rejang dihapus dan digantikan dengan sistem pemerintahan yang ada yaitu camat, kepala desa dan turunannya. Kepala marga diganti dengan Camat. Setelah  sistem kepala marga diganti, masyarakat adat seperti ayam kehilangan induknya. Banyak cara-cara adat yang sudah tidak diterapkan lagi dan budaya-budaya serta kearifan lokal perlahan memudar. Orang-orang pemerintahan tidak paham dan mengerti akan cara-cara adat. Dan disebutkan bahwa inilah awal dari kehancuran budaya dan adat istiadat rejang yang ada sekarang ini.
Hilangnya adat istiadat, hilangnya budaya asli rejang juga memudarkan sebuah ajaran rejang mengenai pegong pakeui. Saat ini berbagi sudah tidak mau lagi sama banyak, menimbang tidak mau sama berat, menakar sudah tidak mau lagi sama rata. Siapa yang berkuasa dan gagah itulah yang memegang kekuasaan. Manusia dalam berprilaku sudah tidak terkontrol lagi yang akhirnya mendatangkan bencana bagi manusia itu sendiri.
"Itulah penyebab yang mendatangkan banjir, karena manusia membabi buta dalam membuka hutan. Tidak mengikuti aturan lagi, tebing dibuat lahan, nah itulah barangkali hutannya bakal rusak. Kalau zaman saya hingga bapak saya keatas, zaman nenek saya tidak pernah rusak. Dijamin tidak ada yang rusak hutannya" tegas pak salim yang membuat saya kagum akan semua penjelasan beliau.

Minggu, 08 Desember 2013

ASAL USUL ORANG REJANG..!!




Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti tentang masyarakat Rejang yang umumnya didasarkan pada Informasi-informasi dan cerita-cerita lisan turun-temurun dari orang-orang tua Rejang, karena tidak ditemuinya catatan tertulis, yang dapat dijadikan rujukan baik berupa manuskrip atau prasasti maupun catatan-catatan pribadi para pemimpin zaman dahulu atau orang tertentu dari nenek moyang orang Rejang. Seperti antara lain Jhon Marsden yang merupakan seorang serjana inggeris pada tahun 1779 M yang menulis buku dengan judul “The History Of Sumatera”, 

kemudian Mohammad Hoesein yang merupakan putra Asli Rejang dari anak pangeran Kota Donok Lebong pada tahun 1960-1966 M yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Selatan, dimana dituangkan dalam naskah yang berjudul “Tembo dan Adat Rejang Tiang IV”. 
Tak hanya itu DR hazairin Putra Bengkulu pada tahun 1932 dalam rangka penyusunan Desertasinya yang berjudul “De Rejang” yang kemudian dibukukan oleh M.A YAspan seorang serjana Australia dari Australia National University yang mengadakan penelitian pada tahun 1961-1963, yang dituangkan dalam bukunya “From Patriliny To Matriliny, Structural Change Amongst The Rejang Of Southwest Sumatera” serta yang paling terahir Prof DR Richard Mc Ginn, yang merupakan Guru Besar Ohio University, USA.

Namun dari keempat penelitian tersebut tidak ada satupun yang menyimpulkan secara konkrit tentang asal mula dari mana datangnya nenek moyang Suku Rejang, akan tetapi secara umum mengindikasikan suku rejang berasal dari india belakang (Semenanjung Vietnam) karena berdasarkan kepada teori tentang asal usul nenek moyang bangsa indonesia adalah para manusia perahu dari india belakang yang mencari daerah baru kepulauwan nusantara pada abat ke 2 M yang berlayar dari pantai barat sumatera, dan mereka menduduki sungai ketahun kemudian menetap dilebong yang waktu itu bernama Renah Sekelawi-pinang belapis, akan tetapi secara jelas, keempat penelitian tersebut hanya menyimpulkan bahwa orang Rejang berasal dari empat kelompok manusia yang ada di daerah Lebong yang mula-mula dipilih oleh para Ajai.

Sedangkan penelitian yang terahir oleh Prop DR Richard Mc Ginn tahun 2006 menyimpulkan bahwa asal usul orang Rejang adalah daerah Tonkin Indochina, (India Belakang) yang sekitar 1200 tahun yang lalu melalui Kalimantan mereka pindah ke sumatera, pada waktu itu, mereka berlayar menuju serawak (Kalimantan Utara) dan sebagian menetap disana hingga sekarang keturunan mereka masih tetap berbahasa Rejang, dan disana juga ada sebuah sungai yang bernama sungai Rejang. Dari sana mereka berlayar melalui pulau Bangka dan Belitung, menuju memudiki sungai Musi kemudian menyimpang ke kanan memudiki sungai rawas hingga ke daerah yang paling hulu, sebagian ada yang tinggal di sana, terahir mereka memudiki sungai rawas dan menuju Gunung Hulu Tapus sehingga menetap disana.
Teori yang diungkapkan oleh oleh Prop DR Richard Mc Ginn tahun 2006 ini ternyata sama dengan apa yang dicerita-cerita oleh orang tua Rejang bahwa nenek moyang Orang Rejang pertama kali tinggal di sekitar danau besar di Gunung Hulu Tapus. (salah satu naskah tentang ini masih disimpan oleh Bapak Rattama, yang merupakan Imam Desa Suka Kayo Kabupaten Lebong).
Suatu Realitas, bahwa 7 desa Rejang di KEcamatan BErmani Ulu Rawas Kaupaten Musi Rawas, Yaitu Desa Kuto Tanjung, Desa Napal Licin, Desa Sosokan, Kelurahan Muara Kulam (Ibu kota Kecamatan) Desa Muara Kuwis (dekat Dengan desa Embong utara kecamatan Lebong Utara), Desa sendawar dan desa Karang Pinggan, yang merupakan salah satu bukti kebenaran teori di atas yang menyatakan bahwa “sebagian dari mereka ada yang tinggal di Rawas”.
Diperkirakan, setelah melewati masa yang lama mereka tinggal di dekar sebuah danau yang besar tersebut, anak keturunan mereka turun ke dataran rendah tapus di sebuah dusun Suka Negeri (sekarang) kemudian keturunan mereka menyebar dan akhirnya terdiri dari empat kelompok yang menetap di dusun, masing-masing dipimpin oleh Ajai. Empat kelompok inilah yang menjadi cikal bakal Rejang Tiang Empat lima Raja, yang sangat terkenal dalam nama Tembo Rajo.